Logo nousens

Tidurlah Sebentar, Rasaku

Bukan Perpisahan, Hanya Hening Sebentar

Oct 16, 2025 - 4 minute read
feature image Perdamaian dunia? Bahkan Akatsuki tahu semuanya harus dimulai dengan menghitung pemasukan.

Tujuanku selalu sederhana di permukaan, tapi dalamnya seperti jurang, aku ingin menjadi orang yang berguna bagi banyak orang, mencapai potensi tertinggiku, dan suatu hari menjadi professor, bukan demi gelar, tapi demi memahami dunia dengan kedalaman yang bisa kubagikan. Aku ingin hidupku menjadi ruang belajar yang tak bertepi, tempat rasa dan nalar berdialog tanpa batas. Itu impian yang menghangatkan dadaku sejak lama, menjadi pengelana rasa dan nalar, seseorang yang berpindah dari satu pengalaman ke pengalaman lain, menyerap makna, lalu mengembalikannya ke dunia.

Namun dunia ternyata tidak hanya terbuat dari makna. Ia juga terbuat dari harga.

Ada masa ketika aku berpikir bahwa dengan semangat belajar, tekad, dan kemauan memberi, semua pintu akan terbuka. Tapi satu per satu, realitas membantingku seperti ombak yang tidak pernah kehabisan tenaga. Segala sesuatu di dunia modern pendidikan, teknologi, bahkan sekadar waktu tenang untuk berpikir semuanya menuntut biaya. Setiap idealisme yang kupegang, setiap rencana besar yang ingin kulahirkan, selalu tersangkut pada tali yang sama, uang.

Awalnya aku menganggap itu hambatan sementara. Tapi semakin lama, semakin aku sadar bahwa uang bukan sekadar alat tukar, ia adalah infrastruktur dari segala cita-cita. Tanpanya, gagasan tak bisa bergerak, dan niat baik hanya tinggal kalimat di kepala. Aku mencoba menolak pikiran itu, mencoba tetap idealis, tetap percaya bahwa niat murni akan menemukan jalannya. Tapi dunia tidak peduli pada kemurnian niat. Dunia bergerak hanya ketika ada energi yang cukup untuk menggerakkannya dan energi itu, di zaman ini, bernama uang.

Semakin aku menolak realitas itu, semakin ia menertawakanku.

Tagihan datang seperti pengingat bahwa dunia tidak menunggu siapa pun.

Sementara impianku tentang menjadi profesor, menulis buku, membangun ruang belajar, dan menghidupkan ide-ide besar terasa semakin jauh, seperti bintang yang menipis di langit kota.

Lalu suatu malam, entah kenapa, aku menonton ulang adegan “Pain” pemimpin Akatsuki berbicara tentang tujuannya. Ia berkata bahwa Akatsuki ingin menciptakan kedamaian dunia. Tapi sebelum itu, katanya, mereka harus mengumpulkan uang. Aku terdiam lama.

Selama ini, aku hanya melihat Akatsuki sebagai organisasi yang jahat, penuh ambisi kekuasaan. Tapi malam itu, aku melihat sesuatu yang lain. Aku melihat cermin dari dunia nyata.

Adegan itu sederhana, tapi menghantamku lebih keras daripada kata-kata motivasi mana pun. Akatsuki, kelompok yang ingin mengakhiri perang dengan cara menguasai dunia, pun memulai langkahnya dengan urusan keuangan. Bahkan cita-cita sebesar “perdamaian dunia” harus terlebih dulu dinegosiasikan dengan harga.

Aku mulai melihat pola itu di mana-mana.

Para ilmuwan yang menemukan sesuatu yang bisa mengubah umat manusia, tapi proyeknya mati karena tak ada pendanaan. Seniman besar yang berhenti berkarya karena tak sanggup membayar sewa studio.

Guru yang punya metode luar biasa untuk membuat muridnya berpikir kritis, tapi tak pernah punya kesempatan karena sistem tidak membayarnya cukup untuk bertahan hidup.

Bahkan para idealis terbesar di sejarah dunia pun entah revolusioner, pemikir, semua membutuhkan struktur material untuk menopang perjuangannya.

Dan aku? Aku hanyalah seseorang yang ingin berguna, tapi sering kali terhenti karena kantong kosong. Itu saat aku mulai menerima kenyataan pahit ini, bahwa di dunia nyata, idealisme bukan bahan bakar, tapi muatan. Dan kendaraan yang membawanya tetap butuh bensin yang sama, uang.

Penerimaan itu tidak datang tiba-tiba.

Ia datang lewat kelelahan, lewat malam-malam ketika aku mencoba menulis tapi pikiranku terganggu oleh kekhawatiran soal masa depan. Lewat siang-siang ketika aku berpura-pura belajar tentang kebijaksanaan, padahal sebenarnya sedang menunda kenyataan. Lewat perasaan bersalah karena merasa munafik, berbicara tentang pengetahuan dan kebebasan, tapi terjebak dalam ketergantungan finansial.

Maka aku memutuskan untuk berhenti sebentar.

Bukan berhenti bermimpi, tapi berhenti mengandalkan mimpi sebagai alasan untuk lari dari realitas.

Aku mulai menata ulang pikiranku seperti Pain menata strategi perangnya, hitung sumber daya, bangun sistem, kumpulkan kekuatan. Mimpi besar tidak akan lari kemana-mana. Ia hanya menunggu sampai aku cukup kuat untuk menjemputnya.

Mungkin untuk sementara aku akan jadi seseorang yang lebih dingin, lebih terukur, lebih pragmatis.

Aku tidak lagi ingin berbicara tentang “makna” sebelum memastikan aku punya tempat untuk tidur dengan tenang malam ini.

Aku tidak ingin berbicara tentang “pencerahan” sebelum bisa membeli waktu untuk berpikir tanpa dikejar kebutuhan dasar.

Aku akan menonaktifkan idealismeku sementara waktu seperti menidurkan naga agar bisa membangun bentengnya dulu.

Sebab bahkan idealisme butuh rumah untuk bernaung.

Dan rumah itu harus kubangun dengan tangan sendiri.

Mungkin orang akan bilang aku berubah.

Bahwa aku menjadi terlalu realistis, terlalu rasional, terlalu dingin.

Tapi bagiku, ini bukan bentuk kematian idealisme, melainkan strategi bertahan.

Aku tidak memadamkan nyala rasa, aku hanya menutupnya sementara dari angin, agar tidak padam karena belum mampu menjaganya. Sebab aku tahu, ketika saatnya tiba, aku akan menyalakannya lebih terang lagi.

Dan kali ini, dengan bahan bakar yang cukup untuk membuatnya tetap hidup.

Untuk sekarang, aku akan bekerja. Membangun. Mengumpulkan.

Menyusun kenyataan agar suatu hari bisa kembali menjadi alat bagi impianku, bukan penghalang.

Karena dunia ini tak bisa dilawan dengan rasa semata.

Ia harus ditundukkan dengan nalar, tenaga, dan strategi.

Dan aku memilih untuk menjadi realistis bukan karena aku kehilangan hati, tapi karena aku ingin memastikan bahwa suatu hari, hatiku bisa berdetak lagi tanpa rasa takut.

Jadi, malam ini aku menulis satu kalimat terakhir sebelum mematikan idealismeku.

Selamat bertemu lagi di lain waktu, rasaku.

Tidurlah sebentar.

Aku akan membangunkanmu ketika semuanya sudah siap.